obat tidur

Pendahuluan

Gangguan tidur menjadi masalah umum bagi banyak orang. Diperkirakan sekitar 70 juta orang mengalami masalah tidur yang konsisten. Kurang tidur setiap malam dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, termasuk penurunan kognitif dan demensia.

Untuk pertama kalinya, sebuah studi baru mengungkap osilasi yang tersinkronisasi selama tidur yang mengaktifkan sistem glinfatik otak. Sistem ini berperan dalam membuang “limbah” yang berhubungan dengan penyakit neurodegeneratif. Studi ini, yang menggunakan model tikus, juga menemukan bahwa obat tidur yang sering diresepkan dapat menekan osilasi ini, sehingga mengganggu proses pembuangan limbah otak selama tidur. winwin4d

Kurang Tidur dan Risiko Penurunan Kognitif

Penting untuk memahami faktor-faktor yang mungkin berkontribusi terhadap risiko penurunan kognitif. Terlebih lagi, sebuah penelitian terbaru memperkirakan bahwa risiko demensia setelah usia 55 tahun di Amerika Serikat telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan data sebelumnya.

Meskipun para dokter menyarankan orang dewasa untuk mendapatkan setidaknya 7 jam tidur berkualitas setiap malam, data terbaru menunjukkan bahwa banyak orang menghadapi masalah tidur, seperti insomnia dan sleep apnea. Pada tahun 2022, sekitar 39% orang dewasa di atas usia 45 tahun di Amerika Serikat dilaporkan tidak mendapatkan cukup tidur.

Beberapa penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa kurang tidur dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, termasuk kondisi yang berkaitan dengan otak seperti penurunan kognitif dan demensia.

Natalie Hauglund, PhD, seorang peneliti di Universitas Kopenhagen, Denmark, dan Universitas Oxford, Inggris, menjelaskan bahwa tidur memungkinkan otak untuk “beristirahat” dari pemrosesan informasi eksternal dan fokus pada tugas pemeliharaan, seperti pengawasan sistem kekebalan dan pembuangan limbah. Kurang tidur dikaitkan dengan gangguan kognitif dan perkembangan penyakit.

Namun, mungkinkah beberapa obat tidur justru memperburuk kesehatan otak seiring bertambahnya usia? Mengingat meningkatnya risiko demensia, penting untuk meneliti semua faktor yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kognitif. 3milyartoto

Artikel Lainnya : Diet keto & diet mediterania

Bagaimana Otak Membersihkan Limbahnya?

Dalam studi ini, para peneliti menggunakan berbagai teknologi untuk merekam aktivitas otak saat tikus dalam kondisi terjaga dan tidur.

Para ilmuwan menemukan bahwa osilasi lambat neurotransmitter norepinefrin, yang disertai dengan perubahan aliran darah dan cairan serebrospinal (CSF), membantu mengaktifkan sistem glinfatik otak selama tidur non-REM. Sistem ini memungkinkan otak membuang molekul yang tidak diinginkan.

Maiken Nedergaard, MD, PhD, profesor di Universitas Rochester dan Universitas Kopenhagen serta penulis utama studi ini, menjelaskan bahwa otak tidak memiliki pembuluh limfatik seperti bagian tubuh lainnya. Sebaliknya, otak menggunakan cairan serebrospinal untuk “mencuci” jaringan otak dan membuang limbahnya. Sistem ini, yang disebut sistem glinfatik, hanya aktif selama tidur dalam tahap non-REM.

Menurut Nedergaard, selama tidur non-REM, norepinefrin dilepaskan dalam siklus sekitar setiap 50 detik. Norepinefrin berikatan dengan sel otot di arteri otak, menyebabkan arteri berkontraksi dan berelaksasi secara ritmis. Proses ini menciptakan perubahan volume darah yang bekerja seperti pompa untuk menggerakkan cairan serebrospinal melalui jaringan otak, sehingga membantu membersihkan limbah.

Obat Tidur Mungkin Mengganggu Sistem Glinfatik Otak

Para peneliti juga ingin mengetahui apakah obat tidur dapat meniru osilasi alami yang diperlukan untuk fungsi sistem glinfatik. Dalam penelitian ini, mereka berfokus pada zolpidem, obat penenang yang banyak digunakan dengan nama merek Ambien.

Hasilnya menunjukkan bahwa zolpidem menghentikan osilasi norepinefrin, yang berarti sistem glinfatik tidak dapat berfungsi dengan baik dalam membersihkan limbah otak selama tidur.

Natalie Hauglund menyatakan bahwa meskipun obat tidur dapat mempercepat proses tertidur, penelitian ini menunjukkan bahwa tidur yang diperoleh dengan bantuan obat mungkin tidak memberikan manfaat yang sama seperti tidur alami dan restoratif. Temuan ini menggarisbawahi bahwa obat tidur sebaiknya hanya digunakan dalam jangka pendek dan sebagai pilihan terakhir.

Maiken Nedergaard menambahkan bahwa tidur sangat penting untuk memberikan waktu bagi otak dalam menjalankan tugas-tugas pemeliharaan seperti pembuangan limbah. Sebaliknya, obat tidur justru dapat menghambat neurotransmitter yang mengatur sistem pembersihan otak, sehingga otak tidak dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk hari berikutnya.

Haruskah Pengguna Obat Tidur Khawatir?

Medical News Today juga berbicara dengan Clifford Segil, DO, seorang ahli saraf di Providence Saint John’s Health Center, Santa Monica, California, mengenai temuan ini.

Menurut Segil, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, sangat tidak mungkin bahwa manfaat tidur tambahan dari penggunaan obat seperti zolpidem akan lebih kecil dibandingkan potensi efek sampingnya terhadap osilasi norepinefrin. Ia berpendapat bahwa ada terlalu banyak tahapan dalam penelitian ini untuk secara langsung menghubungkan penggunaan zolpidem dengan risiko demensia.

Dalam praktik klinisnya, Segil tidak mengkhawatirkan bahwa penggunaan zolpidem pada pasien lansia yang mengalami kesulitan tidur akan menyebabkan demensia. Ia menekankan bahwa hingga saat ini, belum ada jawaban pasti mengenai alasan biologis mengapa manusia tidur. Yang diketahui adalah bahwa tidur yang sehat meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, sedangkan kurang tidur memiliki dampak negatif.

Menurut Segil, sangat sulit bagi ahli saraf klinis untuk menyatakan bahwa obat tidur bisa menyebabkan demensia. Ia meyakinkan pasiennya bahwa manfaat tidur yang baik lebih besar daripada risiko yang diklaim dapat menyebabkan kehilangan memori atau demensia seiring bertambahnya usia.

Interaksi Antara Kesehatan Otak, Kualitas Tidur, dan Kesehatan Secara Keseluruhan

MNT juga berbicara dengan Peter G. Polos, MD, PhD, FCCP, FAASM, seorang profesor di bidang kedokteran tidur di Hackensack Meridian Neuroscience Institute, JFK University Medical Center, New Jersey.

Polos, yang juga tidak terlibat dalam penelitian ini, menganggap hasil studi ini sangat menarik. Menurutnya, tidak diragukan lagi bahwa interaksi antara sistem glinfatik dan berbagai neurotransmitter serta produk limbah otak bekerja secara sinkron.

Polos menekankan bahwa studi ini menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan dalam sistem ini dapat menimbulkan konsekuensi seluler dan mungkin klinis. Namun, ia juga mengingatkan bahwa penelitian ini masih berbasis pada hewan, sehingga penerapannya pada manusia harus dilakukan dengan hati-hati.

Jika penelitian lebih lanjut dapat dilakukan, akan sangat menarik untuk meneliti dampak obat tidur terhadap aliran glinfatik pada manusia. Namun, penelitian ini akan memerlukan teknik non-invasif dan mungkin pencitraan canggih.

Polos menyimpulkan bahwa hubungan antara otak, kualitas tidur, dan kesehatan secara keseluruhan tidak bisa diabaikan. Sifat ritmis tidur dan siklus tidur yang teratur telah banyak dipelajari. Meski telah banyak yang dipahami, masih ada banyak hal yang perlu dieksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, penelitian mengenai hubungan antara otak, tidur, dan kesehatan harus terus berlanjut.

Baca Juga : Manfaat GYM